Dia seorang pengajar tidak tetap di sebuah universitas. Dia seorang berjenis kelamin perempuan yang akan bertambah umurnya di bulan Agustus ini. Perempuan yang hobinya membaca buku itu, entah apapun itu jenis bukunya, tidak cantik dan tidak pintar. Lebih tepatnya, menurut penuturan teman-temannya, dia biasa-biasa saja. Ya, biasanya orang memberikan level biasa-biasa saja dikarenakan tidak adanya sesuatu yang unik atau spesial pada sesuatu atau seseorang. So plain and flat, huh?
Namun, hidupnya tidak sedatar yang dibayangkan. Fluktuatif. Ibarat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tidak selalu stabil, melainkan naik turun atau fluktuatif. Perempuan ini senang sekali menggambarkan bahwa my life is flat, fluctuate yet. Sebut saja nama perempuan ini, Putri Dyane Rajnamitha. Dia lebih senang dipanggil Dyane, ketimbang Putri, alasannya nama panggilan Putri sudah terlalu jamak dan terlalu pasaran.
Seperti yang telah diceritakan sepenggal di atas tadi, hidup Dyane fluktuatif. Hidupnya fluktuatif sejak dia tahu bahwa dirinya bukan anak sembarang orang biasa. Dia sadar bahwa dia berasal dan dilahirkan dari orang bukan biasa, tetapi orang yang terlalu spesial. Dia sadar bahwa dirinya adalah putri seorang politikus senior di negeri yang tengah berkembang ini. Lucunya, hal ini baru ia sadari ketika dirinya menginjakkan kakinya di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Artinya, dia betul-betul sadar seberapa penting peranan ayahnya di negeri ini dan seberapa besar cobaan yang akan ia hadapi selama ia masih hidup.
Sebenarnya Dyane sendiri tidak terlalu suka bahwa ia seorang putri politikus. Oke, bukan bermaksud tidak bersyukur, akan tetapi kenyataan ini terkadang menambah beban yang ada di punggung Dyane. Mau tidak mau, Dyane harus menerima kenyataan pahit ini. Mengapa Dyane mengatakan bahwa hal tersebut adalah kenyataan pahit? Hal ini lantaran ia harus siap menjadi contoh yang baik dan membawa nama baik ayah ibunya di lingkungan masyarakat.
Sebagai putri tertua di keluarganya dan putri politikus, ia sadar betul bahwa ia harus memberikan contoh yang baik kepada adiknya khususnya, dan kepada lingkungan masyarakat umumnya. Tak jarang, selama hidupnya, ia melakukan kesalahan sebagaimana yang dilakukan oleh para remaja lainnya. Tak jarang pula, Dyane dihadapkan pada berbagai terpaan masalah, dan masalah-masalah tersebut tentunya berkaitan dengan posisinya sebagai putri sang politikus.
Terpaan masalah-masalah yang datang beraneka macam bentuk dan sifatnya. Misalnya saja, masalah beberapa teman yang secara gamblang iri dengan kehidupan Dyane. Ya, Alhamdulillah, kehidupan Dyane lebih dari cukup baik secara materiil maupun nonmateriil. Secara nonmateriil, Dyane sangat bersyukur, sebab ia berasal dari dua kultur yang berbeda, yakni Sunda dan Bima. Ditambah lagi bahwa masing-masing kakek dari ayah dan ibunya juga merupakan tokoh masyarakat pada eranya dan pada bidangnya tersendiri. Dyane hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah atas nikmat-Nya lantaran dilahirkan dari dua keluarga besar terpandang di daerahnya masing-masing .
Akibatnya, Dyane terkadang merasa serba salah, jikalau ia mengundang teman-temannya untuk berkunjung ke rumahnya atau bahkan menginap di kampung halamannya. Dyane terkadang bingung, mengapa ada beberapa temannya yang iri kepadanya. Padahal, perempuan polos ini tidak punya apa-apa, selain keluarga. Berbicara tentang keluarga, Dyane tidak pernah lupa atas pesan moral yang ia dapatkan dari sebuah sinetron, Keluarga Cemara, yang selalu berprinsip bahwa keluarga adalah harta yang paling terindah melebihi emas atau berlian sekalipun.
Jeleknya Dyane, ia teramat polos. Saking polosnya, terkadang ia tidak bisa membedakan mana teman yang benar-benar tulus dan mana teman yang hanya memanfaatkan dirinya untuk kepentingan tertentu. Sehingga, dalam hal kisah asmara, Dyane selalu gagal menemukan lelaki yang baik dan tulus kepada dirinya. Maka dari itu, Dyane pun berjanji untuk tidak gegabah mencari atau dicarikan lelaki, karena menurutnya hal itu menjadi prioritas paling terakhir di dalam hidupnya.
Terkadang Dyane juga bertanya dalam hati, 'apa yang dicemburui oleh beberapa temanku dari diriku? toh, aku tidak punya apa-apa, sementara kehidupan beberapa temanku itu jauh lebih baik dibandingkan diriku'.
Dyane juga selalu berbicara pada dirinya, 'mengapa orang-orang itu harus iri? bukankah Tuhan sudah menciptakan garis hidup pada masing-masing manusia secara adil? Ah, tidak adil rasanya memiliki musuh, karena aku tidak suka'.
Atau pada situasi lain, ketika neneknya memberikan buah tangan berupa penganan khas daerah asal ibunya, dan parahnya sang nenek, entah lupa atau kehabisan stok, tidak membagikan penganan tersebut kepada sepupu-sepupunya Dyane. Dengan kata lain, hanya ia dan adik perempuan satu-satunya, Canista, yang mendapat penganan khas tersebut. Lebih parahnya lagi, ketika para sepupu dan uwaknya mengetahui keberadaan oleh-oleh spesial untuk Dyane serta Canista, mereka pun (para sepupu dan uwaknya) langsung merujuk, membujuk, dan tentu saja protes pada sang nenek. Dyane pun menjadi serba salah dalam keadaan seperti itu, apalagi ketika para sepupunya dan uwaknya iri dengan perlakuan khusus sang nenek terhadap dirinya. Malang benar nasib kau, Dyane, selalu dicemburui oleh orang-orang.
Tidak hanya dicemburui oleh beberapa temannya dan beberapa sanak saudaranya, tetapi juga dengan beberapa orang di luar sana yang tidak suka dengan keharmonisan rumah tangga ayah ibunya, atau bahkan saingan sang ayah di dunia politikus. Tidak jarang keluarga Dyane mendapat hibah yang tidak menyenangkan, yakni teror. Siapa yang suka teror? Pasti, tidak ada satu pun yang suka teror di dunia ini. Sang ayah seringkali kecolongan teror, mulai dari pesan singkat melalui telepon genggam sampai dengan kebocoran ban mobil yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang. Atau misalnya saja, ada orang yang ingin menjatuhkan karir ayahandanya dengan menyebarkan sisi-sisi negatifnya kepada masyarakat. Kalau sudah begini, Dyane tak jarang berpikir, 'aku lebih baik jadi masyarakat biasa dan bukan siapa-siapa, maaf Tuhan kalau aku tidak bersyukur'.
Begitulah kisah hidup Dyane yang teramat simple, tetapi fluktuatif dan selalu serba salah. Jadi, apa yang perlu dicemburui dari kehidupan Dyane?
Seperti yang telah diceritakan sepenggal di atas tadi, hidup Dyane fluktuatif. Hidupnya fluktuatif sejak dia tahu bahwa dirinya bukan anak sembarang orang biasa. Dia sadar bahwa dia berasal dan dilahirkan dari orang bukan biasa, tetapi orang yang terlalu spesial. Dia sadar bahwa dirinya adalah putri seorang politikus senior di negeri yang tengah berkembang ini. Lucunya, hal ini baru ia sadari ketika dirinya menginjakkan kakinya di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Artinya, dia betul-betul sadar seberapa penting peranan ayahnya di negeri ini dan seberapa besar cobaan yang akan ia hadapi selama ia masih hidup.
Sebenarnya Dyane sendiri tidak terlalu suka bahwa ia seorang putri politikus. Oke, bukan bermaksud tidak bersyukur, akan tetapi kenyataan ini terkadang menambah beban yang ada di punggung Dyane. Mau tidak mau, Dyane harus menerima kenyataan pahit ini. Mengapa Dyane mengatakan bahwa hal tersebut adalah kenyataan pahit? Hal ini lantaran ia harus siap menjadi contoh yang baik dan membawa nama baik ayah ibunya di lingkungan masyarakat.
Dyane feels her life look like the waves in the sea
Sebagai putri tertua di keluarganya dan putri politikus, ia sadar betul bahwa ia harus memberikan contoh yang baik kepada adiknya khususnya, dan kepada lingkungan masyarakat umumnya. Tak jarang, selama hidupnya, ia melakukan kesalahan sebagaimana yang dilakukan oleh para remaja lainnya. Tak jarang pula, Dyane dihadapkan pada berbagai terpaan masalah, dan masalah-masalah tersebut tentunya berkaitan dengan posisinya sebagai putri sang politikus.
Terpaan masalah-masalah yang datang beraneka macam bentuk dan sifatnya. Misalnya saja, masalah beberapa teman yang secara gamblang iri dengan kehidupan Dyane. Ya, Alhamdulillah, kehidupan Dyane lebih dari cukup baik secara materiil maupun nonmateriil. Secara nonmateriil, Dyane sangat bersyukur, sebab ia berasal dari dua kultur yang berbeda, yakni Sunda dan Bima. Ditambah lagi bahwa masing-masing kakek dari ayah dan ibunya juga merupakan tokoh masyarakat pada eranya dan pada bidangnya tersendiri. Dyane hanya bisa mengucapkan syukur Alhamdulillah atas nikmat-Nya lantaran dilahirkan dari dua keluarga besar terpandang di daerahnya masing-masing .
Akibatnya, Dyane terkadang merasa serba salah, jikalau ia mengundang teman-temannya untuk berkunjung ke rumahnya atau bahkan menginap di kampung halamannya. Dyane terkadang bingung, mengapa ada beberapa temannya yang iri kepadanya. Padahal, perempuan polos ini tidak punya apa-apa, selain keluarga. Berbicara tentang keluarga, Dyane tidak pernah lupa atas pesan moral yang ia dapatkan dari sebuah sinetron, Keluarga Cemara, yang selalu berprinsip bahwa keluarga adalah harta yang paling terindah melebihi emas atau berlian sekalipun.
Jeleknya Dyane, ia teramat polos. Saking polosnya, terkadang ia tidak bisa membedakan mana teman yang benar-benar tulus dan mana teman yang hanya memanfaatkan dirinya untuk kepentingan tertentu. Sehingga, dalam hal kisah asmara, Dyane selalu gagal menemukan lelaki yang baik dan tulus kepada dirinya. Maka dari itu, Dyane pun berjanji untuk tidak gegabah mencari atau dicarikan lelaki, karena menurutnya hal itu menjadi prioritas paling terakhir di dalam hidupnya.
Terkadang Dyane juga bertanya dalam hati, 'apa yang dicemburui oleh beberapa temanku dari diriku? toh, aku tidak punya apa-apa, sementara kehidupan beberapa temanku itu jauh lebih baik dibandingkan diriku'.
Dyane juga selalu berbicara pada dirinya, 'mengapa orang-orang itu harus iri? bukankah Tuhan sudah menciptakan garis hidup pada masing-masing manusia secara adil? Ah, tidak adil rasanya memiliki musuh, karena aku tidak suka'.
Atau pada situasi lain, ketika neneknya memberikan buah tangan berupa penganan khas daerah asal ibunya, dan parahnya sang nenek, entah lupa atau kehabisan stok, tidak membagikan penganan tersebut kepada sepupu-sepupunya Dyane. Dengan kata lain, hanya ia dan adik perempuan satu-satunya, Canista, yang mendapat penganan khas tersebut. Lebih parahnya lagi, ketika para sepupu dan uwaknya mengetahui keberadaan oleh-oleh spesial untuk Dyane serta Canista, mereka pun (para sepupu dan uwaknya) langsung merujuk, membujuk, dan tentu saja protes pada sang nenek. Dyane pun menjadi serba salah dalam keadaan seperti itu, apalagi ketika para sepupunya dan uwaknya iri dengan perlakuan khusus sang nenek terhadap dirinya. Malang benar nasib kau, Dyane, selalu dicemburui oleh orang-orang.
Tidak hanya dicemburui oleh beberapa temannya dan beberapa sanak saudaranya, tetapi juga dengan beberapa orang di luar sana yang tidak suka dengan keharmonisan rumah tangga ayah ibunya, atau bahkan saingan sang ayah di dunia politikus. Tidak jarang keluarga Dyane mendapat hibah yang tidak menyenangkan, yakni teror. Siapa yang suka teror? Pasti, tidak ada satu pun yang suka teror di dunia ini. Sang ayah seringkali kecolongan teror, mulai dari pesan singkat melalui telepon genggam sampai dengan kebocoran ban mobil yang dilakukan secara sengaja oleh seseorang. Atau misalnya saja, ada orang yang ingin menjatuhkan karir ayahandanya dengan menyebarkan sisi-sisi negatifnya kepada masyarakat. Kalau sudah begini, Dyane tak jarang berpikir, 'aku lebih baik jadi masyarakat biasa dan bukan siapa-siapa, maaf Tuhan kalau aku tidak bersyukur'.
Begitulah kisah hidup Dyane yang teramat simple, tetapi fluktuatif dan selalu serba salah. Jadi, apa yang perlu dicemburui dari kehidupan Dyane?
No comments:
Post a Comment