Saturday, 19 February 2011

Wednesday, 9 February 2011

Perubahan Sosial melalui Media Baru (Tinjauan Ilmu Komunikasi)

Apa sih Twitter? Twitter adalah situs mikroblogging. Well, saya gak akan menjelaskan bagaimana caranya menggunakan Twitter secara panjang lebar. Tapi, bagi kalian yang masih belum punya dan belum paham soal Twitter, silahkan kunjungi blog adik saya (klik di sini!). Sebelumnya, saya persilahkan Anda untuk berpikir, apakah anda merasa Twitter itu berguna bagi kehidupan anda atau tidak. Silahkan pilih.

Seperti kita ketahui bahwa Indonesia tercatat sebagai negara dengan pengguna Twitter terbanyak di dunia pada 2010, lebih tepatnya berjumlah 20,8 % dari pengguna internet di Tanah Air. Sementara, jumlah pengguna internet di Indonesia sudah mencapai 45 juta. Untuk lebih lengkapnya, silahkan kunjungi kompas online (klik di sini) dan detikcom (klik di sini). Melihat dari data jumlah pengguna internet di Indonesia, wajar saja apabila jumlah pengguna Twitter akan terus bertambah dan bertambah setiap harinya.

Ketika jumlah pengguna Twitter terus menerus bertambah, bisa dikatakan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sudah melek terhadap kehadiran media baru, khususnya Twitter. Namun, masyarakat Indonesia yang baru melek akan adanya media baru seperti Twitter ini hanya terjadi pada kelompok masyarakat menengah ke atas. Mengapa hanya kelompok masyarakat menengah ke atas yang melek terhadap kehadiran media baru? Mudah menjawabnya, karena hanya mereka lah yang mampu memiliki akses terhadap internet. Tapi pertanyaannya, apakah mereka (baca : kelompok masyarakat menengah ke atas) sudah benar-benar paham akan fungsi dan peranan media baru, seperti Twitter? Dan, apa sebenarnya yang menjadi kekuatan dari media baru, seperti Twitter? Sebelum saya jawab, akan lebih baik jikalau saya menjelaskan dengan menggunakan beberapa contoh berikut ini.


Berawal dari Twitter

Kita, sebagai bagian warga dunia, sangat tahu mengenai situasi politik di Mesir. Situasi politik Mesir yang tidak stabil lantaran sang pemimpin negara, Hosni Mubarak, masih nyaman untuk menikmati kekuasaannya selama 30 tahun. Pada akhirnya, sama seperti Indonesia pada Mei 1998, masyarakat pun berbondong-bondong turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka (baca: masyarakat kontra terhadap kekuasaan Mubarak) bahwa Mubarak sepantasnya harus turun. Mereka pun tidak lelah, meski sudah berjalan kurang lebih dua minggu terakhir. Jikalau kita ingin menelisik lebih lanjut, sebenarnya gerakan masyarakat ini berasal dari mana?

Gerakan masyarakat yang muak terhadap pemerintahan Mubarak itu berasal dari Twitter. Ya, awalnya mereka menyuarakan melalui Twitter dan Facebook. Apa saja yang mereka keluhkan melalui media baru tersebut? Mereka, apapun pekerjaannya, menyampaikan kegalauan hatinya mengenai periode kekuasaan yang diduduki Mubarak saat ini. Mereka juga mengeluh tentang minimnya kesempatan kerja yang disediakan oleh pemerintahan Mubarak. Bayangkan, hanya 2% lapangan pekerjaan yang tersedia. Ironis, padahal kita semua tahu bahwa Mesir adalah pusat peradaban agama Islam yang maju.(Untuk lebih lanjut, baca tempointeraktif dan majalah tempo, klik di sini)

Selanjutnya, apa yang mereka perbuat melalui Twitter dan Facebook hingga dapat menggerakkan demonstrasi secara besar-besaran? Berdasarkan informasi yang saya peroleh dari tempointeraktif (bisa klik di sini), selain bercuit-cuit melalui Twitter, mereka juga membuat akun "We are all Khaled Said" yang memiliki anggota lebih dari 370 ribu orang. Fyi, sebagaimana saya kutip dari tempointeraktif, Khaled Said adalah pedagang yang tewas akibat dianiaya polisi tahun lalu. Akun ini menyerukan aksi antipemerintah berkali-kali, termasuk mengundang aksi 25 Januari lalu. Maka, mereka berhasil menggerakkan demonstrasi terbesar sepanjang sejarah politik Mesir.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Apakah Twitter dan Facebook cukup berhasil dalam menggalang kekuatan rakyat atas nama keadilan hukum? Saya pernah membahas masalah ini pada postingan sebelumnya (bisa diklik di sini). Pada postingan saya sebelumnya, saya menyebutkan kasus-kasus apa saja yang diangkat ke publik oleh pers lantaran adanya desakan yang kuat dari masyarakat melalui media baru, seperti Twitter dan Facebook. Kasus-kasus tersebut ialah kasus Bibit-Chandra dan kasus Prita Mulyasari. Selain kasus-kasus hukum tersebut, ada juga rencana kebijakan Dana Aspirasi yang dibuat oleh DPR, tapi karena mendapatkan tanggapan dan reaksi keras dari masyarakat melalui media baru, maka rencana kebijakan Dana Aspirasi itu ditunda.

Atau kasus hukum yang masih hangat diperbincangkan di ranah Twitter, yakni kasus hukum yang menimpa ibunda dari @AlandaKariza. Awalnya, tidak ada yang tahu tentang apa yang tengah dialami oleh seorang @AlandaKariza, tapi setelah menulis melalui blog pribadinya (klik di sini), semua pengguna twitter di Indonesia sadar akan pentingnya kasus hukum ibunya Alanda. Tak perlu waktu lama, hampir semua pemilik akun twitter di Indonesia memberikan dukungan secara virtual terhadap Alanda melalui situs mikroblogging tersebut. Dampaknya, kasus hukum ibunya Alanda sukses menduduki peringkat kedua dari trending topics di Indonesia, melalui hashtag #helpAlanda. Terlebih lagi, beberapa media online (seperti @kompasdotcom, @detikcom, dan @tempointeraktif) langsung mengangkat kasus hukum ibunya Alanda sebagai salah satu berita. Wow, luar biasa dahsyatnya kekuatan media baru, khususnya Twitter.


the image source (click!)

Budaya Latah dalam Media Baru

Pertanyaannya adalah, mengapa kicauan tweeps (sebutan bagi para pengguna akun twitter) dapat menggoyahkan suatu negara atau pemerintahan? Menurut kacamata saya sebagai pemerhati ilmu komunikasi dan pemerhati isu sosial di dalam media baru, ada beberapa hal yang dapat disebut sebagai pemicu para tweeps untuk sekedar berkicau di ranah publik baru, yakni media baru. Pertama, adalah budaya latah dalam media baru. Kita sebagai tweeps, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di setiap negara belahan dunia, cenderung memiliki budaya latah atau budaya mengikuti apa yang diperbincangkan oleh para tweeps lainnya di timeline. Sama seperti pop culture yang sedang berkembang kemudian menarik untuk diikuti, persoalan publik yang tengah hangat dibicarakan pun dapat diikuti oleh para tweeps baik yang berasal dari masyarakat. Tapi yang menarik adalah, partisipasi masyarakat apolitis yang ikut berargumen mengenai berbagai persoalan publik yang mencakup isu sosial politik tersebut.

Wujud Ruang Publik Baru

Bagaimana bisa masyarakat apolitis juga tertarik untuk mengamati dan memiliki perhatian terhadap isu sosial politik yang tengah berkembang? Jawabannya sederhana, Kedua, masyarakat apolitis memiliki akses untuk memanfaatkan media baru, khususnya twitter, sebagai bentuk ruang publik baru. Akses untuk mendapatkan informasi lewat media baru didapat sepenuhnya oleh masyarakat apolitis melalui kehadiran teknologi komunikasi dan teknologi informasi. Di sisi lain, beberapa ahli memasukkan internet sebagai sarana baru, selain media cetak dan media elektronik, di dalam paradigma komunikasi massa yang mutakhir. Dengan kata lain, twitter dan situs jejaring sosial lainnya, atau media baru, sangat berpeluang untuk dijadikan sebagai ruang publik yang baru.

Twitter beserta media baru lainnya merupakan angin segar dalam kehidupan masyarakat apolitis di Indonesia. Angin segar, karena sesuai dengan cita-cita Juergen Habermas bahwa perlunya ruang publik yang memungkinkan orang-orang untuk berdiskusi berbagai persoalan publik tanpa adanya intervensi dari pemerintah. Sehingga, dapat dikatakan bahwa berbagai media baru tersebut adalah ruang baru di mana masyarakat dapat menyampaikan pendapat dan kritik pada pemerintah tanpa harus khawatir adanya intervensi dari pemerintah. Terlebih lagi, Indonesia sekarang ini berada di dalam kehidupan demokrasi yang cukup stabil. Seperti kita ketahui, kehidupan demokrasi suatu negara tidak akan berjalan efektif jikalau tidak ada ruang publik yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakatnya. Artinya, media baru bisa dipertimbangkan sebagai wujud ruang publik baru, tatkala media-media konvensional (seperti surat kabar, televisi, dan radio) justru telah dikuasai oleh para elite politik.

Keberadaan Opinion Leader dalam Media Baru
Ketiga, Opinion leader tidak hanya hadir secara nyata pada lingkungan masyarakat, tetapi juga berada di tengah-tengah masyarakat secara maya pada era konvergensi media. Memang tampaknya opinion leader pun mengalami pergeseran dan perluasan makna. Dahulu, kita mengenal tetua atau kepala adat atau kepala suku yang ada di dekat lingkungan tempat tinggal kita sebagai opinion leader. Namun, sekarang ini, sembari dipicu oleh kehadiran teknologi komunikasi dan teknologi informasi, kita dapat dengan mudahnya bertemu dengan para opinion leader secara tidak nyata. Di samping itu, opinion leader yang dulunya hanya ditemukan di lingkungan desa saja, saat ini opinion leader juga dapat kita temui di masyarakat kota dengan mengandalkan baik teknologi komunikasi maupun teknologi informasi. Maka, menurut hemat saya, opinion leader adalah seseorang yang berperan sebagai pemuka pendapat untuk mempengaruhi audiens di dalam proses komunikasi melalui berbagai media, apapun bentuknya. Dapat diartikan bahwa opinion leader tidak melulu hanya mempengaruhi audiens melalui media-media konvensional, bahkan melalui media baru pada era konvergensi media.

Media Baru Ditinjau dari Model Jarum Injeksi
Jikalau kita mengingat kembali tentang model jarum injeksi atau hypodermic needle model, bisa diambil latar belakang pemikiran model jarum injeksi ialah audiens bersikap pasif terhadap berbagai macam informasi yang disebarkan melalui media massa. Sehingga, media massa justru lebih aktif untuk mempengaruhi audiens. Hal inilah yang dikatakan oleh Nurudin di dalam bukunya yang berjudul Sistem Komunikasi Indonesia. Menurut Nurudin, model jarum injeksi ini sama seperti teori peluru, yang mana ia menganalogikan bahwa jika sebutir peluru dikeluarkan dari katupnya, ia akan selalu menemukan sasaran. Sasaran yang dimaksud ialah audiens yang pasif tersebut.

Apabila dikaitkan dengan beberapa persoalan publik yang kembali mengemuka melalui media baru, bisa dilihat bahwa para pengguna media baru, seperti Twitter adalah sasaran empuk bagi media baru. Sasaran empuk, sebab para tweeps ialah audiens yang pasif. Artinya, para tweeps hanya mampu menikmati derasnya arus informasi yang mengalir dalam Twitter. Tak heran bila Elihu Katz (berdasarkan buku Nurudin yang berjudul Sistem Komunikasi Indonesia) mengemukakan beberapa ciri dari suatu media sehubungan dengan model jarum injeksi. Salah satu ciri yang dimaksud, yaitu, media massa memiliki kekuatan luar biasa yang mampu menginjeksi secara mendalam berbagai macam informasi ke dalam benak-benak yang tidak berdaya.

Seperti saya jelaskan di atas bahwa internet merupakan sarana baru di dalam paradigma komunikasi massa baru, jadi Twitter dan media baru lainnya bisa diklasifikasikan ke dalam pembagian media massa. Maka dari itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Elihu Katz, Twitter beserta media baru lainnya juga memiliki kekuatan luar biasa untuk menembakkan segala macam informasi, khususnya persoalan publik, kepada audiens di dalamnya, yakni para tweeps. Ditambah lagi dengan keberadaan para opinion leader yang berperan untuk mempengaruhi para tweeps dalam arus penyebaran informasi. Apalagi jika para opinion leader tersebut mengeluarkan pendapatnya masing-masing secara sama dan serentak. Dengan demikian, peran media baru (seperti Twitter) dibantu dengan para opinion leader pada akhirnya mampu untuk menciptakan adanya sebuah perubahan yang menyangkut persoalan publik serta kepentingan masyarakat.

Semoga tulisan ini bermanfaat :)